Isu sentral yang kerap kali mewarnai pembelajaran matematika adalah seputar rendahnya kualitas hasil belajar matematika. Penafsiran tentang kualitas ini ada yang melihatnya dari produk yang diperoleh suatu lulusan berupa kemampuan intelektual matematika dan ada pula yang menafsirkannya sebagai suatu kesalahan berantai yang tidak hanya melihat dari hasilnya saja, tetapi meliputi juga prosesnya.

Apabila diamati, kesalahan seputar rendahnya nilai mata pelajaran matematika dipengaruhi juga sikap masyarakat (khususnya orang tua) itu sendiri yang memandang secara sempit assessment pembelajaran matematika, yaitu jika rangking anaknya rendah, maka resahlah orang tua atau jika nilai raportnya rendah maka langsung menuding anaknya bodoh.

Isu lainnya yang juga tampak mengemuka adalah seputar kapasitas materi yang disampaikan, yaitu hingga saat ini belum banyak guru (secara perorangan) atau suatu sekolah manyampaikan materi/ soal-soal yang rutin maupun non rutin yang melatih siswa menjawab how? dan why? Atau tidak merangsang siswa berpikir kreatif, inovatif, dan alternative. Akibatnya, masih sedikit ditemukan guru maupun sekolah yang memperhatikan kaidah percepatan belajar siswa (learning acceleration), yaitu melayani pengayaan pembelajaran pada anak unggul dan berbakat (gifted and talented) dan memperhatikan perbaikan belajar (remedial) pada anak yang rendah (lower).

Selain itu, dari hasil penelitian akhir-akhir ini berkembang pula isu seputar rendahnya kompetensi matematika guru dan calon guru. Hal ini menjadi penting mengingat faktor keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh strategi pembelajaran, sistem penilaian, interaksi di kelas, dan faktor guru. Itulah sekelumit problematika pembelajaran matematika di sekolah saat ini.

Upaya mengatasi berbagai isu pembelajaran matematika senantiasa dilakukan para pemerhati dan pengguna matematika. Pembaharuan dilakukan sebagai upaya keikutsertaan matematika dalam membentuk manusia berkualitas, yaitu tidak hanya membekali peserta didik dengan keterampilan menggunakan matematika, tetapi juga menumbuhkan kemampuan yang transferable untuk memiliki daya pikir kritis, dalam hal ini kemampuan yang berupa :

§ (untuk tingkat dasar) kemampuan dasar reading literacy, pengetahuan bilangan (numeracy), dan pemecahan masalah sederahana.

§ (untuk tingkat menengah) menerapkan matematika di berbagai bidang (contextual mathematics) dan kemampuan memecahkan masalah sehari-hari.

Upaya perbaikan juga dilakukan dengan lebih mempertimbangkan berbagai pandangan/filsafat pembelajaran yang mutakhir, seperti bergesernya pandangan belajar dari teacher centre ke student centre atau lebih memfokuskan pada pandangan perkembangan mental (development mental) yang mengutamakan proses dengan tidak mengesampingkan pandangan tingkah laku (behavioristik) yang mengutamakan produk.

Para penentu kebijakan juga turut andil menyumbangkan pikirannya tentang inovasi mathematics learning yang biasanya mempertimbangkan aspek politik pemerintah guna pemenangan persaingan teknologi/sosial antarnegara yang makin global. Singkatnya, optimalisasi pembaharuan pembelajaran matematika seperti diuraikan di atas dilakukan bebagai pihak dalam bentuk:

  • perbaikan strategi belajar mengajar oleh guru;
  • inovasi model belajar melalui studi dan riset kalangan perguruan tinggi; dan
  • penyempurnaan assessment proses/produk belajar matematika.

Pada akhirnya, semua pembaharuan tersebut akan bermuara pada penyempurnaan kurikulum oleh penentu kebijakan.

Usaha mensikapi berbagai problematika pembelajaran matematika berujung pada munculnya inovasi-inovasi dalam pembelajaran matematika. Inovasi pembelajaran matematika yang paling menonjol adalah rekonstruksi pemahaman matematika (mathematical meaning re-construction) melalui berbagai model pembelajaran dan sistem penilaian. Trend model pembelajaran yang dikembangkan saat ini secara formal mengikuti rekomendasi dari NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) di Amerika. Misalnya dalam wujud NCTM Standard for Curriculum and Evaluation, NCTM Standard for Instruction, dan NCTM Standard for Assessment. Bentuk konstruksi pemahaman matematika yang saat ini dikembangkan bahkan cenderung menjadi sebuah “gerakan” studi model pembelajaran matematika di antaranya: constructivism, problem solving, problem posing, realistic mathematics education, open-ended approach, communication in mathematics, methacognitif model, cooperative learning, dan reinvention in mathematic.

Saat ini, inovasi pembelajaran matematika sebagai kata kunci untuk mengatasi problematika pembelajaran matematika di sekolah menengah diwujudkan dalam bentuk “gerakan pemerataan” teknik/model/ strategi/pendekatan pembelajaran matematika yang (katanya) mengakar pada kebutuhan dan kebiasaan realistik siswa di lingkungan hidupnya sehari-hari. “Barang baru” ini diberi nama pembelajaran matematika kontekstual (CTL- Contextual Teaching and Learning - diadopsi dari aslinya contextual mathematics).

Penulis yang kebetulan berkesempatan mendapatkan penjelasan langsung dari “main instructor” CTL dari Univeristas Negeri Surabaya beruntung memperoleh penjelasan aslinya tentang apa itu CTL. Mengapa beruntung? Lazimnya sebuah pelatihan di negeri ini, makin jauh rentang komunikator utama suatu informasi ke komunikan paling bawah, biasanya cenderung makin banyak informasi berbeda.

Dilihat dari konsepnya yang paling menonjol, yaitu tujuh prinsip CTL, penulis memandang ini adalah sebuah pendekatan yang brilian. Tentu saja demikian, karena tidak mungkin para pakar yang nota bene menjadi penentu kebijakan inovasi pembelajaran mengadopsi suatu model yang tidak bagus atau asal-asalan. Hebatnya lagi, bak lahirnya sebuah bayi jenius, maka kelahirannya begitu didengung-dengungkan, disebarluaskan sampai ke lapisan paling bawah, seolah-olah inilah bayi jenius yang dinanti-nantikan (padahal bukankah sudah pernah lahir bayi jenius sebelumnya, atau mungkin bersamaan lahir pula bayi jenius lain - hanya tidak seberuntung bayi ini). Sebegitu hebatnya model pembelajaran ini tidak jarang penulis dengar bahwa para penyampai model ini memandang rendah dan tidak berguna model pembelajaran lain yang pernah ada dan lahir terlebih dahulu. Seolah lupa bahwa mereka yang kini menyampaikan model baru itu terlahir dan dibesarkan oleh model yang lama. Hebatnya lagi, model ini disebarluaskan dengan di-back up oleh seperangakat kebijakan dan sejumlah proyek pengembangan pendidikan yang nota bene dilakukan perangkat pemerintah.

Masalahnya sekarang, tidaklah semudah membalikan tangan mengubah believe guru dan siswa yang terbiasa melakukan pembelajaran matematika cara sebelumnya untuk mau berubah ke cara yang baru ini. Apalagi bila setelah dirasakan dan dilaksanakan ternyata terlalu banyak membebani beban kerja guru yang tidak seimbang dengan penghargaan kerja yang mereka dapatkan. Karena itu, penulis memandang perlu menganalisis model ini menurut cara pandang pengalaman mengajar guru. Pertanyaannya adalah Benarkah ini sebuah keunggulan? Yang paling unggul dibandingkan lainnya?

Penulis akan menganalisisnya melalui tujuh prinsip CTL, yang menurut penulis inilah jantungnya CTL, yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penilaian yang autentik.

Konstruktivisme- Dalam pandangan ini strategi yang diperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Karena itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberi kesempatan pada siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Sungguh sempurna bagi sebuah model pembelajaran yang mengedepankan siswa sebagai pusat belajar. Hal ini tidak dipungkiri oleh penulis. Tetapi, akankah ini terus dipakai dan diterapkan manakala guru harus menyampaikan pokok bahasan yang one way direction dan mengharuskan menyelesaikan materi dalam waktu cepat. Misalnya, sebuah ilustrasi soal sebagai berikut. Bagaimanakah menanamkan sebuah pengertian yang konstruktif tentang -2 – (-4) ? Haruskah membiarkan siswa bekerja dan menemukan pengertiannya melalui pemodelan garis bilangan (sebagaimana lazimnya dikembangkan selama ini), ataukah pemodelan yang lainnya? Menurut penulis sungguh membebani bahkan membuat repot siswa dalam bekerja. Tidakkah cukup ditanamkan konsep kurang sebagai invers dari tambah untuk kasus itu? Sederhana, bukan? Jadi, konstruktivisme bukanlah satu-satunya.

Menemukan – Dalam pengertian menemukan sebagai inquiri, prinsip ini mempunyai seperangkat siklus, yaitu: observasi, bertanya, mengajukan, dugaan, mengumpulkan data, dan menyimpulkan. Sebagai sebuah model pembelajaran, prinsip inkuiri sangat tepat bagi penanaman konsep yang membutuhkan kerja eksplorasi dalam bentuk induktif seperti materi-materi IPA. Meski bisa pula diterapkan materi lain selain IPA seperti bahasa Indonesia bahkan matematika. Kesulitan muncul tatkala dihadapkan pada penyampaian konsep beraroma deduktif. Misalnya, menanamkan konsep-konsep geometri. Alhasil, prinsip ini tidaklah secara kaku dan wajib diterapkan kepada setiap pokok bahasan matematika.

Bertanya – Dalam bentuk formalnya sebagai salah satu kegiatan dalam mengawali, menguatkan, dan menyimpulkan sebuah konsep. Bentuknya bisa dilakukan guru langsung kepada siswa atau justru memancing siswa untuk bertanya.kepada guru, kepada siswa lain atau kepada orang lain secara khusus. Tak dapat dipungkiri lagi, kegiatan ini sangatlah menunjang setiap aktivitas belajar. Bukankah pengetahuan yang dimiliki seseorang biasanya berawal dari ”bertanya”. Dari sudut manapun penulis belum bisa memberikan counter terhadap ketidakbergunaan prinsip ini dalam setiap aktivitas belajar. Masalahnya, benarkah bila ini diklaim sebagai ciri aktivitas belajar yang hanya dimiliki oleh CTL? Tentu tidak sepakat bukan?

Masyarakat Belajar- Konsep masyarakat belajar (learning community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada komunikasi dua arah, yaitu guru terhadap siswa dan sebaliknya, siswa dengan siswa. Berbagai penelitian memang telah banyak menguji keberhasilan bentuk sharing pengetahuan ini, khususnya pembelajaran teman sebaya. Bahkan penulis berkesempatan melakukan penelitian berbau komunikasi seperti ini, yaitu secara spesifik berupa komunikasi dalam ranah kemampuan membaca matematika. Hasilnya, seperti yang telah diduga sebelumnya bahwa ketidakoptimalan hasil belajar yang diharapkan dari pemberian perlakuan suatu teknik atau strategi yang baru berakar pada permasalahan yang klasik dan senantiasa menghantui pembelajaran matematika selama ini, yaitu pada masalah kurangnya penguasaan konsep dasar. Singkatnya, komunikasi dalam masyarakat belajar matematika dapat optimal bila komunikan dan komunikator memiliki penguasaan konsep dasar.

Pemodelan – Tampaknya, prinsip inilah yang menjadi primadona CTL dibandingkan dengan beberapa model pembelajaran lainnya. Pemodelan menurut versi CTL, guru bukan satu-satunya model, melainkan harus memfasiliitasi suatu model tentang “bagaimana cara belajar” baik dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri. Memang, setelah dipraktekan penulis, prinsip inilah yang paling sukar. Kesulitan yang sering muncul adalah merancang sebuah modeling tentang suatu konsep. Apalagi bila tuntutannya sempit, yaitu pemodelan yang terkait dengan konteks lingkungan siswa, bukan terkait dengan konteks apa yang sudah tertanam dalam diri siswa. Sebuah contoh klasik di kalangan para pengembang CTL untukl tingkat SLTP di antaranya kesulitan membuat pemodelan untuk konsep logaritma. Jadi, kesimpulannya, sungguh naïf bila dengan serta merta para pengembang CTL mengharuskan (mendoktrin) para guru untuk selalu menerapkan CTL sebagai satu-satunya model pembelajaran yang paling kapabel. Tidakah bahkan menjadi beban yang lain bagi para guru?

Refleksi – Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dan dilakukan setiap peserta belajar. Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan pembelajaran berikutnya. Sepintas, inilah satu-satunya model belajar yang mengembangkan kegiatan berbau introspeksi. Padahal, jika kita mau jujur dengan pembelajaran model lain pun yang ada, semuanya memuat prinsip ini. Masalahnya, diformalkan atau tidak diformalkan bahwa refleksi sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran.

Penilaian autentik - Penilain jenis ini memandang bahwa kemajuan belajar diniliai dari proses, bukan melulu hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya. Itulah hakekat penilaian autentik. Memang, selama ini forma tes matematika cenderung menekankan pada pengujian produk bukan proses. Hal ini terjadi karena sistem dan aturan yang dikembangkan menuntut untuk melakukan tes hanya produk saja. Tetapi, apakah benar-benar efektif bahwa tes autentik sebagai perangkat tes yang dapat dikembangkan dalam matematika. Ini perlu kajian mendalam. Terlalu dini jika pembuat kebijakan mengharuskan guru menyusun format tes autentik untuk para siswanya tanpa didampingi oleh suatu ilustrasi (contoh) atau apa saja namanya tentang tes autentik. Perlu mendapat pertimbangan para pengembang CTL bahwa ada penelitian tentang portfolio sebagai salah satu bentuk tes autentik yang menyimpulkan bentuk tes ini tidak efektif dalam matematika di Indonesia.

Dari beberapa counter yang dilakukan penulis seperti di atas, penulis beranggapan bahwa CTL matematika bukanlah satu-satunya jalan keluar yang harus segera disebarluaskan untuk diterapkan seutuhnya oleh setiap sekolah. Justru penulis melihat satu hal mendasar yang senantiasa muncul dan bahkan selalu mewarnai ketidakberesan hasil pembelajaran matematika, yaitu tentang lemahnya penguasaan konsep dasar matematika yang dimiliki siswa maupun guru. Asumsinya, mau bagaimanapun model belajarnya, siapapun yang menyampaikannya, dan di tempat bagaimanapun berlangsungnya pembelajaran, jika dalam diri setiap peserta belajar telah tertanam penguasaan konsep dasar yang memadai, maka target ketuntasan hasil belajar dapat diraih.

Jika demikian adanya, apakah tidak berlebihan dengan “gerakan” penggunaan CTL sebagai satu-satunya model yang harus diterapkan setiap sekolah di negeri ini. Tidakkah lebih bijaksana bila model ini dipandang sebagai satu alternatif pembelajaran yang bisa dipakai para guru di sekolah, sehingga segala kebaikan yang dimiliki model ini tidak segera luntur karena ternodai oleh misi proyek semata. Kalau begitu, apakah “gerakan” pendekatan kontekstual matematika merupakan suatu kemajuan ataukah jalan di tempat?