Kamis, 24 Juli 2008

PEMBELAJARAN GEOMETRI BERDASARKAN TAHAP BERPIKIR VAN HIELE

A. PENGERTIAN

Pembelajaran geometri merupakan hal yang sangat penting karena pembelajaran geometri sangat mendukung banyak topik lain, seperti vektor, dan kalkulus, dan mampu mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Kennedy & Tipps (1994:387) menyatakan bahwa dengan pembelajaran geometri mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan mendukung banyak topik lain dalam matematika. Suydam (dalam Clements & Battista, 1992:421) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah (1) mengembangkan kemampuan berpikir logis, (2) mengembangkan intuisi spasial mengenai dunia nyata, (3) menanamkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk matematika lanjut, dan (4) mengajarkan cara membaca dan menginterpretasikan argumen matematika. Selanjutnya Bobango (1993:148) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa, (1) memperoleh rasa percaya diri pada kemampuan matematikanya, (2) menjadi pemecah masalah yang baik, (3) dapat berkomunikasi secara matematik, dan (4) dapat bernalar secara matematik.

Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional (Martin dalam Abdussakir, 2003:34) dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah merubah kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele (Anne, 1999). Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele (Anne, 1999). Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an (Burger & Shaughnessy, 1986:31 dan Crowley, 1987:1). Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat (Gutierrez, 1991:237 dan Anne, 1999).

Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango (1993:157) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar van Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan. Senk (dalam Abdussakir, 2003:45) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry (dalam Abdussakir, 2003:45) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van Hiele adalah konsisten. Burger dan Saughnessy (1986:47) melaporkan bahwa siswa menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989:77) menyimpulkan bahwa pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001:165) menyatakan bahwa penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa. Senada dengan pernyataan di atas Martina (2003) menyatakan pembelajaran dengan menerapkan tahap berpikir van Hiele bisa membantu siswa dalam memahami materi segitiga.

Tingkat Berpikir van Hiele

Teori van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri (Olive, 1991:91; Schoen & Hallas, 1993:108 dan Anne, 1999). Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui lima tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri (Clements & Battista, 1990:356-357; Orton, 1992:72; Burger & Culpepper, 1993:141-142 dan Muser & Burger, 1994:529-531). Kelima tahap perkembangan berpikir van Hiele adalah tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisa), tahap 2 (deduksi informal), tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor).

Tahap berpikir van Hiele dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tahap 0 (Visualisasi)

Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar (Orton, 1992:72 dan Anne, 1999), tahap rekognisi (Gutierrez dkk, 1991:242; Muser & Burger, 1994; Arnold, 1996, 1996; dan Argyropoulus, 2001), tahap holistik (Burger & Culpepper, 1993:141), tahap visual (Clements & Battista, 1990:356; Olive, 1991:91 dan Clements & Battista, 2001). Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.

Tahap 1 (Analisis)

Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif (Olive 1991:91; Clements & Battista, 1992:427; Arnold, 1996 dan Clements & Battista, 2001). Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.

Tahap 2 (Deduksi Informal)

Tahap ini dikenal dengan tahap abstrak (Burger & Culpepper, 1993:141), tahap abstrak/relasional (Clements & Battista, 1992:427 dan Clements & Battista, 2001), tahap teoritik (Olive, 1991:90), dan tahap keterkaitan (Muser & Burger, 1994). Arnold (1996), Argyropoulus (2001) dan Orton (1992:72) menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri.

Tahap 3 (Deduksi)

Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal (Gutierrez dkk, 1991:242; Clements & Battista,1992:427; Keyes, 1997 dan Clements & Battista, 2001). Pada tahap ini mahasiswa dapat menyusun bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Mahasiswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini mahasiswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.

Tahap 4 (Rigor)

Clements & Battista (1992:428 dan 2001) juga menyebut tahap ini dengan tahap metamatematika, sedangkan Muser dan Burger (1994) menyebut dengan tahap aksiomatik. Pada tahap ini matematikawan bernalar secara secara formal dalam sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.


Berikut ini diberikan contoh pembelajaran dari tahap 0 sampai tahap 2.

Tahap 0 (Visualisasi)

Pada tahap ini siswa diberikan beberapa bangun datar dan siswa diharapkan mampu mengelompokkan bangun-bangun tersebut berdasarkan penampakannya.

Tahap 1 (Analisis)

Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Seperti kelompok pertama disebut kurva karena ada sisi yang melengkung, kelompok kedua bangun segi tiga karena mempunyai tiga sisi dan tiga titik sudut, kelompok ketiga disebut bangun yang konkav karena kalau diteruskan salah satu sisinya akan memotong gambar dan kelompok keempat disebut paralelogram karena sisi yang berhadapan sejajar.

Tahap 2 (Deduksi Informal)

Pada tahap ini siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Seperti segiempat adalah bangun datar yang mempunyai empat sisi dan empat titik sudut, dan segitiga adalah bangun datar yang mempunyai tiga sisi dan tiga titik sudut.

Teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya lebih bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri (Anne, 1999). Burger dan Culpepper (1993:141) juga menyatakan bahwa setiap tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri.

Clements & Battista (1992:426-427) menyatakan bawa teori van Hiele mempunyai karaketristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak kontinu, terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, (2) tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara eksplisit pada tahap berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri. Crowley (1987:4) menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni keberhasilan dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran daripada oleh usia; (3) instrinsik dan ekstrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth, yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya berada pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.

Setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan.

Tahap-tahap berpikir van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan (Keyes, 1997 dan Anne, 1999). Dengan demikian siswa harus melewati suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan biologis (Crowley, 1987:4). Dengan demikian, guru harus menyediakan pengalaman belajar yang cocok dengan tahap berpikir siswa.

B. Model Pembelajaran van Hiele

Pembelajaran geometri hanya akan efektif apabila sesuai denga struktur kemampuan berpikir siswa. Hal ini menurut andangan van Hiele. Hasil belajar dapat diperoleh melalui lima fase yang sekaligus sebagai tujuan pembelajaran (Crowley, 1987:5-6). Selanjutnya lima fase pembelajaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Fase 1 (Inkuiri/Informasi)

Dengan tanya jawab antara guru dengan siswa, disampaikan konsep-konsep awal tentang materi yang akan dipelajari. Guru mengajukan informasi baru dalam setiap pertanyaan yang dirancang secermat mungkin agar siswa dapat menyatakan kaitan konsep-konsep awal dengan materi yang akan dipelajari. Bentuk pertanyaan diarahkan pada konsep yang telah dimiliki siswa, misalnya Apa itu garis yang sejajar? Apa itu garis yang sama panjang?Apa itu sudut yang sehadap, sepihak, dan bersebrangan? Apa itu segiempat? dan seterusnya.

Informasi dari tanya jawab tersebut memberikan masukan bagi guru untuk menggali tentang perbendaharaan bahasa dan interpretasi atas konsepsi-konsepsi awal siswa untuk memberikan materi selanjutnya, dipihak siswa, siswa mempunyai gambaran tentang arah belajar selanjutnya.

Fase 2 (Orientasi Berarah)

Sebagai refleksi dari fase 1, siswa meneliti materi pelajaran melalui bahan ajar yang dirancang guru. Guru mengarahkan siswa untuk meneliti objek-objek yang dipelajari. Kegiatan mengarahkan merupakan rangkaian tugas singkat untuk memperoleh respon-respon khusus siswa. Misalnya, guru meminta siswa mengamati gambar yang ditunjukkan berupa macam-macam segiempat.

Siswa diminta mengelompokkan jenis segiempat, sesuai dengan jenisnya, setelah itu menjiplak dan menggambarkan macam-macam segiempat dengan berbagai ukuran yang ditentukan sendiri pada kertas dengan mengunakan media alat tulis. Kemudian menempelkan pada buku masing-masing. Aktivitas belajar ini bertujuan untuk memotivasi siswa agar aktif mengeksplorasi objek-objek (sifat-sifat bangun yang dipelajari) melalui kegiatan seperti mengukur sudut, melipat, menentukan panjang sisi untuk menemukan hubungan sifat-sifat dari bentuk bangun-bangun tersebut. Fase ini juga bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing eksplorasi siswa sehingga menemukan konsep-konsep khusus dari bangun-bangun geometri.

Fase 3 (Uraian)

Pada fase ini, siswa diberi motivasi untuk mengemukakan pengalamannya tentang struktur bangun yang diamati dengan menggunakan bahasanya sendiri. Sejauh mana pengalamannya bisa diungkapkan, mengekspresikan dan merubah atau menghapus pengetahuan intuitif siswa yang tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati.

Pada fase pembalajaran ini, guru membawa objek-objek (ide-ide geometri, hubungan-hubungan, pola-pola dan sebagainya) ke tahap pemahaman melalui diskusi antar siswa dalam menggunakan ketepatan bahasa dengan menyatakan sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun-bangun yang dipelajari.

Fase 4 (Orientasi Bebas)

Pada fase ini siswa dihadapkan dengan tugas-tugas yang lebih kompleks. Siswa ditantang dengan situasi masalah kompleks. Siswa diarahkan untuk belajar memecahkan masalah dengan cara siswa sendiri, sehingga siswa akan semakin jelas melihat hubungan-hubungan antar sifat-sifat suatu bangun. Jadi siswa ditantang untuk mengelaborasi sintesis dari penggunaan konsep-konsep dan relasi-relasi yang telah dipahami sebelumnya.

Fase pembelajaran ini bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman menyelesaikan masalah dan menggunakan strategi-strateginya sendiri. Peran guru adalah memilih materi dan masalah-masalah yang sesuai untuk mendapatkan pembelajaran yang meningkatkan perolehan berbagai performansi siswa.

Fase 5 (Integrasi)

Pada fase ini, guru merancang pembelajaran agar siswa membuat ringkasan tentang kegiatan yang sudah dipelajari (pengamatan-pengamatan, membuat sintesis dari konsep-konsep dan hubungan-hubungan baru). Tujuan kegiata belajar fase ini adalah menginterpretasikan pengetahuan dari apa yang telah diamati dan didiskusikan. Peran guru adalah membantu pengiterpretasian pengetahuan siswa dengan meminta siswa membuat refleksi dan mengklarifikasi pengetahuan geometri siswa, serta menguatkan tekanan pada penggunaan struktur matematika.

C. Pengalaman Belajar Sesuai Tahap Berpikir van Hiele

Tingkat berpikir siswa dalam belajar geometri menurut teori van Hiele banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran. Oleh sebab itu, perlu disediakan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan tingkat berpikir siswa. Siswa SMP/MTs pada umumnya sudah sampai pada tahap berpikir deduksi informal. Hal ini sesuai dengan pendapat van de Walle (1990:270) yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa SMP/MTs berada pada antara tahap 0 (visualisasi) sampai tahap 2 (deduksi informal).

Berikut ini dijelaskan aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan untuk tiga tahap pertama yaitu tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), dan tahap 2 (deduksi informal) (Crowley, 1987:7–12).

1. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)

Pada tahap 0 (visualisasi) ini, siswa diharapkan dapat memperhatikan bangun-bangun geometri berdasarkan penampilan fisik sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini sebagai berikut:

a. Memanipulasi, mewarna, melipat, dan mengkonstruk bangun-bangun geometri.

b. Mengidentifikasi bangun atau relasi geometri dalam suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan bangun, blok-blok pola atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek-objek fisik lain dalam kelas, rumah, foto, tempat luar, dan dalam bangun yang lain.

c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun dan mengkonstruk bangun.

d. Mendeskripsikan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus “seperti kotak”.

e. Mengerjakan masalah yang dapat dipecahkan dengan menyusun, mengukur dan menghitung.

2. Aktivitas tahap 1 (analisis)

Pada tahap ini, siswa diharapkan dapat menyebutkan sifat-sifat bangun geometri. Aktivitas pada tahap ini antara lain:

a. Mengukur, mewarna, melipat, memotong, memodelkan dan menyusun dalam urutan tertentu untuk mengidentifikasi sifat-sifat dan hubungan geometri lainnya.

b. Mendeskripsikan kelas suatu bangun sesuai dengan sifat-sifatnya.

c. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifatnya.

d. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.

e. Mengidentifikasi bangun berdasarkan visual.

f. Membuat suatu aturan dan generalisasi secara empirik (berdasarkan beberapa contoh yang dipelajari).

g. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.

h. Menemukan sifat-sifat objek yang tidak dikenal.

i. Menemukan dan menggunakan kata-kata atau simbol-simbol yang sesuai.

j. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri atau pendekatan berdasarkan wawasan.

3. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)

Pada tahap ini, siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini dijelaskan sebagai berikut:

a. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada tahap 1, membuat inklusi, dan membuat implikasi.

b. Mengidentifikasi sifat-sifat minimal yang menggambarkan suatu bangun.

c. Membuat dan menggunakan definisi.

d. Mengikuti argumen-argumen informal.

e. Mengajukan argumen informal.

f. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah yang kurang.

g. Memberikan lebih dari suatu pendekatan atau penjelasan.

h. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan konversi.

i. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling keterhubungannya.

Van de Walle (1990:270) membuat deskripsi aktivitas yang lebih sederhana dibandingkan dengan deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut Van de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah:

1. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)

Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:

a. Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan untuk memanipulasi.

b. Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang bervariasi dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan.

c. Melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan mendeskripsikan berbagai bangun, dan

d. Menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.

2. Aktivitas tahap 1 (analisis)

Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:

a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama model-model yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai sifat bangun.

b. Mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi.

c. Mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama bangun tersebut.

d. Menggunakan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun.

3. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)

Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain:

a. Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus pada pendefinisian sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep.

b. Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal, misalnya semua, suatu, dan jika – maka, serta mengamati validitas konversi suatu relasi.

c. Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir dan mulai mencari generalisasi atau kontra contoh.

D. Contoh Pengembangan Pembelajaran Materi Segiempat Berdasarkan Tahap Berpikir van Hiele

Suatu karakteristik tahap berpikir van Hiele adalah bahwa kecepatan untuk berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas dalam pembelajaran. Dengan demikian, pengorganisasian pembelajaran, isi, dan materi merupakan faktor penting dalam pembelajaran, selain guru juga memegang peran penting dalam mendorong kecepatan berpikir siswa melalui suatu tahapan. Tahap berpikir yang lebih tinggi hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan yang tepat bukan melalui ceramah semata.

Pembelajaraan berdasarkan tahap berpikir van Hiele yang digunakan untuk membantu siswa membangun pemahaman konsep segiempat dengan menggunakan pendekatan belajar kelompok. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Dalam pembelajaran ini, masing-masing kelompok terdiri dari 6 siswa dengan memperhatikan keheterogenan siswa, baik ditinjau dari kemampuan akademik, gender dan status sosial.

Dalam perkembangan berpikir, van Hiele (dalam Clements dan Battista, 1992:436) menekankan pada peran siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Siswa tidak akan berhasil jika hanya belajar fakta-fakta, nama-nama atau aturan-aturan, melainkan siswa harus menentukan sendiri hubungan-hubungan saling keterkaitan antara konsep-konsep geometri daripada proses-proses geometri.

Sebagai upaya membantu siswa sekolah menengah pertama untuk memahami konsep segiempat maka pada uraian berikut akan disajikan aktivitas-aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan tahap berpikir van Hiele mulai tahap 1 (analisis) dan tahap 2 (deduksi informal) dengan melalui 5 fase pembelajaran, yaitu (1) inkuiri/informasi, (2) orientasi berarah, (3) uraian, (4) orientasi bebas, dan (5) integrasi (crowley, 1987:6-7). Pemilihan aktivitas ini disesuaikan dengan aktivitas-aktivitas yang dijelaskan Van de Walle (1990:270). Dalam aktivitas pembelajaran ini disediakan berbagai media antara lain gambar bangun segiempat dan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang terdiri dari LKS 1, dan LKS 2.

Dala pembelajaran akan digunakan gambar-gambar bangun segiempat. Penggunaan gambar segiempat tersebut dimaksudkan untuk membantu siswa dalam melakukan kegiatan menyelesaikan LKS 1. Setiap kelompok, masing-masing siswa mendapat media pembelajaran berupa LKS dan gambar segiempat. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat berdiskusi dan saling kerja sama.

LKS 1 memuat informasi berupa gambar-gambar, pertanyaan dan perintah yang difokuskan pada pemberian nama suatu benda serta memberikan alasan mengapa benda itu diberi nama demikian? yang diorientasikan agar siswa yang mencapai tahap 1 (analisis). Apabila siswa dapat menjawab dengan benar semua pertanyaan yang diberikan maka berarti tahap berpikir siswa telah berada pada tahap 1 (analisis). Untuk LKS 2, memuat informasi, pertanyaan dan perintah yang diorientasikan pada kemampuan siswa untuk menentukan sifat-sifat yang paling utama dari gambar-gambar yang ada pada LKS 1, membuat pernyataan sederhana dengan menggunakan kalimat “jika-maka” yang akhirnya siswa diharapkan dapat membuat definisi. Apabila siswa dapat menjawab semua pertanyaan yang ada pada LKS 2 ini, maka berarti tahap berpikir siswa telah berada pada tahap 2 (deduksi informal).

Dari uraian di atas, maka lebih rinci aktivitas pembelajaran berdasar tahap berpikir van Hiele mulai tahap 0 sampai tahap 2 akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Aktivitas Tahap 1 (analisis)

Pada tahap 1 (analisis) ini, melalui LKS dan alat peraga yang disediakan siswa diminta untuk menggunakan model-model pada LKS 1. Berdasarkan pengelompokan yang dibuat, siswa mulai mengeksplorasi berbagai sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi. Selanjutnya siswa mulai mencari sifat-sifat dan memberi argumen mengapa suatu kelompok gambar tersebut termasuk kelompok segiempat, jajargenjang, belahketupat, persegipanjang, persegi, layang-layang dan trapesium. Selain itu, siswa membandingkan masing-masing kelompok menurut sifat-sifat yang siswa temukan. Dengan demikian, sifat-sifat dapat mencirikan dan mengkontraskan masing-masing kelompok.

Selanjutnya guru diharapkan dapat memberikan beberapa contoh gambar lagi dan menanyakan contoh gambar tersebut termasuk kelompok mana dan mengapa termasuk ke dalam kelompok tersebut. Selain itu, siswa juga diminta menjelaskan secara verbal alasan tersebut. Pada tahap 2 ini, guru juga dapat memberikan masalah dalam bentuk verbal dan siswa diminta untuk mengidentifikasi soal yang diberikan pada LKS 1. Masalah yang diajukan hendaknya melibatkan sifat-sifat yang ditemukan oleh siswa pada.

Jika siswa sudah dapat menemukan sifat-sifat segiempat, jajargenjang, belahketupat, persegipanjang, persegi, layang-layang dan trapesium serta dapat menyelesaikan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun segiempat secara lisan maupun tulisan, berarti tahap berpikir siswa sudah berada pada tahap 1 (analisis). Hal ini sesuai dengan pendapat Crowley (1987:8) bahwa pada tahap 1 siswa sudah dapat mengidentifikasi sifat-sifat meskipun belum dapat mengkaitkan antara sifat-sifat tersebut dan belum dapat memahami definisi.

2. Aktivitas Tahap 2 (deduksi informal)

Pada tahap 2 ini, siswa melanjutkan pengklasifikasian gambar atau model yang terdapat pada LKS 1. Pada tahap ini, siswa diminta mengerjakan dan mendiskusikan LKS 2 tanpa bantuan alat peraga dengan fokus pada pendefinisian sifat-sifat. Siswa diarahkan dapat membuat daftar sifat-sifat yang ditemukan untuk masing-masing kelompok gambar. Selanjutnya siswa mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau benda yang kemudian disebut konsep. Melalui LKS yang diberikan, siswa diarahkan pada penemuan sifat yang perlu dan cukup agar sebuah segiempat dikatakan sebagai jajargenjang, belahketupat, persegipanjang, persegi, trapesium dan layang-layang. selanjutnya siswa diarahkan menggunakan bahasa yang bersifat deduksi informal, misalnya “jika-maka” serta mengamati validitas konvers suatu relasi dengan menggunakan model atau contoh kontra.

Pada tahap 2 ini, guru mulai mengarahkan siswa untuk membuat definisi abstrak tentang segiempat, jajargenjang, belahketupat, persegipanjang, persegi, trapesium dan layang-layang. Disamping itu, guru mengamati apakah definisi yang dibuat siswa sudah bersifat umum. Kemudian sesuai dengan definisi yang dibuat siswa, guru dapat memberikan masalah berupa generalisasi atau memberikan contoh kontra untuk melihat kebenaran definisi yang dibuat siswa. Jika siswa sudah dapat membuat definisi abstrak dengan tepat atau siswa sudah dapat menyelesaikan LKS 2 dengan benar, berarti tahap berpikir siswa sudah berada pada tahap 2 (deduksi informal). Hal ini sesuai dengan pendapat Crowley (1987:8) yang mengatakan bahwa pada tahap 2 ini, siswa mampu mempelajari keterkaitan sifat-sifat dan bangun yang dibentuk, membuat implikasi, menyajikan argumen informal dan membuat serta menggunakan definisi.

RUJUKAN

1. Abdussakir, 2003. Pengembangan Paket Pembelajaran Berbantuan Komputar Materi Irisan Dimensi Tiga. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM.

2. Anne. T.. 1999. The van Hiele Models of Geometric Thought. (Online) (Http://euler.slu.edu/teach_material/van_hiele_model_of_geometry.html, diakses 14 Oktober 2005).

3. Argyropoulus, V.. 2001. Investigating Levels of Understanding of Concept of Geometric Shape by Student with V.I. (Online) (Http://www.iceui-europe.org/cracow2000/proceeddings/chapter04/04-10.doc, diakses 14 Oktober 2005).

4. Arnold, S.. 1996. Challenge and Support: van Hiele.(Online) (Http://stmarys.nsw.edu.au/PAGES/c35.html, diakses 14 Oktober 2005

5. Budiarto, M.T.. 2000. Pembelajaran Geometri dan Berpikir Geometri. Dalam prosiding Seminar Nasional Matematika “Peran Matematika Memasuki Millenium III”. Jurusan Matematika FMIPA ITS Surabaya. Surabaya, 2 Nopember.

6. Burger, W.F. & Culpepper, B.. 1993. Restructuring Geometri. Dalam Wilson Patricia S. (Ed). Research Ideas for the Classroom: High School Mathematics. New York: MacMillan Publishing Company.

7. Clements, D.H. & Battista, M.T.. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Dalam Grouws, D.A. (Ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: MacMillan Publishing Company.

8. Clements, D.H. & Battista, M.T.. 2001. Geometry and Proof. (Online) (Http://www.terc.edu/investigation/relevant/html/Geometry.html, diakses 14 Oktober 2005).

9. Gutierrez, A., Jaime, A., dan Fortuny, J.M.. 1991. An Alternative Paradigm to Evaluate the Acquisition of The van Hiele Levels. Journal for research in Mathematics Education. 22 (3): 237-257.

10. Hopkins, D.. 1985. A Teacher’s Guide to Classroom Research. London: Open University.

11. Husnaeni. 2001. Membangun Konsep Segitiga Melalui Penerapan Teori van Hiele pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM.

12. Kennedy, L.M. & Tipps, S.. 1994. Guiding Children Learning of Mathematics. California: Wadsworth Publishing Co.

13. Madja, M.S.. 1992. Perancangan dan Implementasi Perangkat Ajar Geometri SMTA. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: PPS UI.

14. Olive, J.. 1991. Logo Programming and Geometric Understanding: An In-Depth Study. Journal for Research in Mathematics Education. 22(2): 90-111.

15. Purnomo, A.. 1999. Penguasaan Konsep Geometri dalam Hubungannya dengan Toeri Perkembangan Berpikir van Hiele pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 6 Kodya Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP Malang.

16. Yuwono, I.. 2001. RME dan Hasil Studi Awal Implementasinya di SLTP. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Realistic Mathematics Education (RME)” di Jurusan Matematika FMIPA Unesa Surabaya, 24 Pebruari.

17. Van de Walle, J.A.. 1990. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally. New York: Longman.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih pak, materinya sangat membantu.